Sekitar
tahun 1952 Rm. E. Hardjawardaya, Pr dan Rm. Sumaatmadja, Pr yang bertugas
sebagai Pastor Pembantu di Paroki St. Antonius Kotabaru menawarkan gagasan agar
kring-kring di sebelah barat Kali Code yakni Kring Bangirejo, Jetis dan
Gondolayu disatukan dalam satu koordinasi wilayah kerja demi efektifitas reksa
pastoral. Gagasan tersebut disambut dengan baik. Pada tahun 1954 ketiga kring
itu menyatu dan menjadi Stasi Jetis.
Pada awalnya stasi Jetis belum memiliki gedung
gereja sendiri, sehingga Perayaan Ekaristi pada hari Minggu ataupun hari Raya
diselenggarakan di rumah umat, di tempat umum ataupun di kantor instansi
pemerintah yang memungkinkan, seperti SMPN VI, SPG/SMA XI, STM Jetis dan kantor
Balai Penyamakan kulit di Jl. Diponegoro (kini: Rumah Makan “Sari Raja”).
Pertengahan tahun 1959, Stasi Jetis berada dalam
reksa pastoral Rm. Carlo Carri, SJ. Dengan telaten, Rm. Carri mengadakan
pendekatan dengan tokoh-tokoh awam di Stasi Jetis untuk menjajaki kemungkinan
mendirikan gereja di wilayah Jetis.
Pada tanggal 15 Oktober 1960, di Jetis berdiri
Susteran Amal Kasih Darah Mulia dan diresmikan oleh Sr. Patricia, ADM sebagai
provinsial. Atas kebaikan Suster-suster ADM, umat Stasi Jetis diperbolehkan
mengadakan Perayaan Ekaristi di Kapel Susteran.
Karena perkembangan umat semakin pesat, maka untuk
efektifitas pendampingan dan reksa pastoral umat, Kring Bangirejo dimekarkan
menjadi 2 kring yakni Kring Blunyah dan Kring Bangirejo. Kring Jetis dimekarkan
menjadi 2 yakni Kring Cokrokusuman dan Kring Cokrodiningratan. Karena alasan
kedekatan teritorial, Kring Kricak yang sebelumnya menjadi wilayah Paroki
Kumetiran digabung menjadi bagian Stasi Jetis.
Atas prakarsa Rm. Carri dan tokoh-tokoh awam di
wilayah Stasi Jetis maka pada tanggal 8 Oktober 1963, dibentuklah “Pengurus
Gereja dan Papa-Miskin Room Katolik Di Wilayah Gereja Albertus Agung
Soegijopranoto di Yogyakarta” (PGPM) oleh pejabat Uskup Semarang, Mgr. Justinus
Darmojuwono. Akta Notaris PGPM disahkan di hadapan Notaris RM. Soeprapto pada
tanggal 4 November 1963.
Persoalan besar yang dihadapi oleh PGPM ialah:
Dimanakah akan didirikan gedung gereja? Pengurus mulai melirik beberapa tempat
yang memungkinkan untuk mendirikan gereja. Beberapa pilihan mulai bermunculan
namun belum ada yang sesuai. Di tengah kesibukan mencari tanah itu, umat Stasi
Jetis harus rela melepas kepergian Rm. Carri yang diangkat sebagai Sekretaris
Keuskupan Agung Semarang. Sebagai penggantinya adalah Rm. H. Natasusila, Pr,
mulai bulan Agustus 1964.
Sementara itu, perkembangan umat semakin pesat. Hal
itu karena lahirnya kring-kring baru yakni Kring Karangwaru dan Poncowinatan.
Sedangkan Kring Gowongan dan Penumping yang sebelumnya menjadi bagian dari
Paroki Kumetiran digabungkan ke Jetis sehingga Stasi Jetis saat itu mempunyai
12 kring. Bertambahnya jumlah kring ini semakin memperkuat keinginan umat untuk
memiliki gedung gereja sendiri.
Untuk memperlancar reksa pastoral dan usaha
pencarian tanah maka dibentuklah Dewan Paroki yang pertama.
Berkat usaha dan doa yang tidak mengenal lelah,
pada bulan Agustus 1964 Stasi Jetis berhasil membeli tanah milik ibu Mohamad Adeline seluas 3945 m2 dengan harga Rp.
850.000,-. Tanah tersebut sudah disertifikatkan dengan status hak pakai
atas nama PGPM Albertus Soegiyopranoto
Yogyakarta pada tgl. 22 Agustus 1968 dengan no SK 116/HP/68.
Sebagai ungkapan syukur karena telah mendapatkan
tanah bagi gereja, maka pada bulan
November 1965 diadakan misa syukur. Misa syukur inilah yang kemudian
dianggap sebagai saat LAHIRNYA PAROKI
JETIS. Dan sebagai ungkapan hormat dan cinta kepada Mgr. Albertus
Soegijapranoto, SJ sebagai Pahlawan Nasional dan khususnya tekat untuk
meneladan semangat dan pengabdian Beliau kepada bangsa, negara dan gereja maka
nama pelindung yang dipilih untuk Paroki Jetis adalah nama babtis Mgr.
Soegijapranoto, SJ yakni St. Albertus Agung.
Setelah memiliki gedung gereja sendiri, umat Jetis
semakin bersemangat dalam hidup menggereja. Hal ini terbukti dengan banyaknya
kegiatan yang dilakukan oleh umat dan tumbuhnya kelompok-kelompok, antara lain:
a). Kelompok Legio Maria yang terbentuk pada bulan
September 1968. Karena pesatnya perkembangannya, paroki Jetis bahkan dijadikan
sebagai pusat legio maria di wilayah DIY, Magelang dan Jateng selatan dengan
nama Komisium Pohon SUKA CITA. Banyak dari anggota legio tersebut sekarang
menjadi aktivis paroki, tetapi sayang sekarang legio tersebut sudah tidak ada.
Namun mulai bulan Juli tahun 2007 tumbuh “kelompok” doa kerahiman/koronka dan
senakel, yakni doa bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00.
b). Mudika Paroki (PALMA: Putra Albertus Magnus)
yang sudah mengadakan berbagai kegiatan seperti pentas solidaritas, menggelar lomba koor antar SD
se-DIY, menghidupkan perpustakaan paroki, pendakian ke sumbing, latihan
kepemimpinan, dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak mlempem namun toh ada
kegiatan yang menyolok yakni mendirikan Radio Komunitas pada bulan Juli 2003. Radio
Komunitas ini bernama Lima Cemara, sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian
No. 10 tanggal 11 Juli 2006.
c). Antiokhia: wadah pembinaan iman remaja. Hingga
saat ini Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan Antiokhia di
paroki-paroki kevikepan Yogyakarta.
Perkembangan umat paroki Jetis dapat dikatakan meningkat
dengan pesat. Hal ini mendorong adanya pemekaran lingkungan sehingga lahirlah
lingkungan-lingkungan yang baru.
Pada tahun 1983, lingkungan Kricak dimekarkan
menjadi 2, yakni Kricak dan St. Paulus Jatimulyo. Empat tahun kemudian, tahun
1987, lingkungan St. Paulus Jatimulyo dipilah menjadi 3, yakni St. Paulus
Jatimulyo, St. Thomas Jatimulyo dan St. Alfonsus Jatimulyo. Seakan tidak mau
kalah pada tahun itu juga lingkungan Kricak kembali membidani lahirnya
lingkungan Bangunrejo, sedangkan lingkungan Jogoyudan dipilah menjadi 2, yaitu
Jogoyudan Lor dan Jogoyudan Kidul.
Di samping itu mulai tahun 1980, stasi Nandan, yang
sebelumnya termasuk wilayah Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati digabungkan
dengan paroki Jetis. Hal ini mengingat letak geografisnya dan demi optimalnya
pelayanan pastoral. Bahkan sejak tanggal 1 Agustus 1996 Stasi Nandan sudah
mempunyai gedung gereja yang diberkati oleh Rm. Yoh. Harjaya, Pr selaku
Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang.
Perkembangan umat Nandan sangat dipengaruhi oleh
ketekunan bruder-bruder Karitas, yang dirintis oleh Br. Alfons Wiryataruna dan
juga para romo dan frater dari Konggregasi Redemtoris. Karenanya pelindung yang
dipakai adalah St. Alfonsus Maria de Ligouri.
Pada tahun 2000 status stasi Nandan berubah menjadi
Paroki Administratif. Bahkan pada ulang tahun ke-8, sudah mempunyai gedung
pastoran yang diberkati Uskup Agung Semarang Mgr. Ign. Suharyo pada tanggal 21
Agustus 2004. Dan sejak 15 Juli 2005 pastoran sudah ditempati Rm. Ig.
Jayasewaya, Pr. Karenanya seluruh reksa pastoral sudah tidak tergantung dengan
paroki Jetis, sekaligus sebagai persiapan untuk menjadi paroki penuh. Sejak tanggal 1 Agustus 2012 Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta menetapkan Paroki St. Alfonsus Nandan menjadi Paroki Penuh yang tertuang dalam Surat Keputusan Pendirian Paroki Nomor 0549/b/i/b-79/12. Dengan demikian maka Paroki St. Alfonsus Nandan sudah tidak menjadi bagian reksa pastora Paroki St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta.
Sejarah Paroki St. Alfonsus Nandan http://parokinandan.blogspot.com/2012/06/blog-post.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar